Tentara berpatroli di jalan di Timika di Papua, 18 Juli 2009. (Foto: REUTERS/Muhammad Yamin) |
BorneoTribun Jakarta -- Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jenderal Prantara Santosa, Kamis (6/5), mengatakan TNI telah mengerahkan 400 lebih tentara di Papua. Pengerahan itu terjadi ketika seorang pemimpin separatis dalam pengasingan memperingatkan bahwa TNI tampaknya akan melakukan operasi keamanan terbesar dalam beberapa dekade di daerah tersebut.
Pekan lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk menumpas kelompok-kelompok separatis setelah Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha ditembak mati dalam sebuah penyergapan.
Brigjen Prantara Santosa mengatakan TNI akan menerjunkan Batalyon 315/Garuda, yang mendapat julukan 'pasukan Setan' karena pernah mengambil bagian dalam konflik berdarah di Timor Leste. Batalyon itu dikirim setelah pembicaraan dengan kelompok separatis, gagal.
"Mereka hanya pasukan infanteri terlatih, bukan pasukan khusus," katanya, tanpa menyebutkan ke mana mereka akan dikirim. Ia menggambarkan penempatan mereka sebagai rotasi rutin.
Dilansir dari Reuters, Kamis (6/5), pengerahan tentara ke Papua dilakukan setelah pemerintah mengatakan kelompok separatis bersenjata Papua sebagai "teroris.” Kebijakan itu dinilai para aktivis dapat meningkatkan respons keamanan di wilayah tersebut.
Benny Wenda, seorang pemimpin kemerdekaan Papua Barat yang berbasis di Inggris, telah menyatakan bahwa dia memimpin pemerintahan sementara dari tempat pengasingan. Ia memperingatkan bahwa tampaknya Papua menghadapi operasi militer terbesar sejak tahun 1970-an.
"Internet terputus, ratusan tentara dikerahkan, dan kami menerima laporan bahwa warga sipil Papua Barat melarikan diri dari desa mereka," kata Wenda dalam sebuah pernyataan.
Aktivis hak asasi manusia mengatakan layanan internet telah terganggu di ibu kota provinsi, Jayapura, dan kota terdekat, Sentani,sejak 30 April.
Dedy Permadi, juru bicara Kementerian Perhubungan, Kamis (6/5), mengatakan layanan internet di Papua terganggu karena rusaknya kabel komunikasi bawah air.
Pemerintah sebelumnya pernah membatasi internet di Papua saat terjadinya peningkatan ketegangan politik, termasuk selama demonstrasi massal pada 2019. [ah/au/ft]
Oleh: VOA